Yang dikerjakannya memang tidak terlalu berat tapi matanya terlihat lelah. Semalaman ia menatap layar laptop, satu-satunya alat komunikasi dia dengan dunia luas. Ya sejak mengikrarkan diri sebagai "clandestine blogger investigator", istilah yang ia buat sendiri setelah memposting lima kasus korupsi secara anonim, Yunga hari itu setelah subuh bergerak menelusuri berita tentang kasus kisruh pilkada di kotanya. Yunga bukan wartawan yang digaji, ia juga bukan partisan salah satu calon, ia hanya anak muda yg peduli dengan kebenaran. Agak aneh melihat anak muda seperti dia di zaman ini. Satu lagi yang aneh, dia tidak memegang hape. Dia pikir barang itu tidak diperlukan untuk seorang "clandestiner" seperti dia karena berbahaya. Soal memposting tulisan, ia numpang wifi gratis di mana saja.
"Permisi pak, siapa yang berdemo hari ini?, tanya Yunga pada tukang becak di pelataran pendopo kabupaten. "Wah gak tau mas, saya nggak ikut2an," jawab tukang becak sekenanya. Ia memang salah tanya orang. Abang becak bukan pemerhati politik seperti kebanyakan rekan seprofesinya. Rakyat kecil seperti kita tahunya siapapun pemimpinya yang penting biaya hidup dibuat murah, rakyat bisa hidup layak, cari kerja mudah, anak2 sekolah murah, biaya berobat murah syukur2 gratis. Klise? Ah mungkin tidak.
"Maaf pak," Yunga membalas jawaban tukang becak yang body becaknya ditempeli stiker calon bupati no 2. Ia melangkah lebih dekat ke arah kerumunan pendemo mencari tahu dari kubu mana mereka. "Kami tak ingin pemimpin curang!!!" ada teriakan. "Kami ingin kejujuran, kami tak ingin dipimpin penipu..." suara keluar dari mikrofon. Massa pendemo yang jumlahnya ratusan bergerak merangsek ke pintu kantor bupati. Tapi petugas yang seimbang jumlahnya mendorong balik. "Bagus juga nih kalau diambil gambar," gumam Yunga. Tapi dia sadar tak ada kamera bersamanya. Ya dia memang tidak punya atau belum punya kamera. Dengan sedikit menurunkan ujung topinya, Yunga menjauh dari kerumunan. Dia tahulah dari kubu mana para pendemo ini.
Sedikit "what, who, when dan where" sudah dia dapatkan. "Why dan how" yang belum. Ingatan Yunga kembali ketika ia ikut kursus jurnalistik di kampus tahun 2006. Mahasiswa jurusan Geografi ini memang sempat ikut kursus jurnalistik gratisan yang diadakan anak2 rohis di kampusnya. Kursusnya cuma tiga hari tapi ini membantunya sekarang. Yunga menulis di notesnya : Senin 22 Juli 2014, KPUD Baqor, cabup no 2 ditetapkan menang, demo cabup no 1 tuntut kecurangan, detail? "Masih harus dicari..." catat Yunga dalam hati. Ia beranjak dari tempatnya berdiri menuju masjid kabupaten yang lokasinya tak jauh. Ia memang biasa Dhuha pk 9.30 pagi, agak siang memang tapi masih layak.
Selesai Dhuha, Yunga ngobrol kecil dengan seorang bapak pegawai pemda yang juga Dhuha di mesjid yang sama. "Yang begini mah biasa tiap pilkada... ada yang tak puas kalau kalah,"jawab bapak itu waktu ia tanya soal demo. "Tapi yg diputusin menang ini emang keterlaluan curangnya..," sambung si bapak. Yunga kaget tapi jadi semangat. "Apa curangnya pak?" tanya Yunga menyelidik. Bapak pegawai sekretariat KPUD itu menengok kiri-kanan seperti khawatir. "Penggelembungan suara, kerjasama dengan orang dalam," bisiknya. Yunga faham bapak ini pasti tidak bohong. Beliau orang KPUD, beliau pasti tahu seluk beluknya dan beliau juga faham resiko mengatakan hal terlarang ini pada orang yang baru dikenalnya. Tapi mungkin idealismenya di atas kekhawatirannya. "Wah bakal rame nih pak kalau terungkap," kata Yunga. "Ya, saya sih ga masalah kalau diungkap. Lebih baik dipimpin orang galak tapi jujur dari pada orang mesam-mesem tapi curang," respon si bapak membuktikan idealismenya. Panggilan dari hape bapak pegawai KPUD menghentikan jumpa mereka berdua.
Satu bahan lagi didapat Yunga. Ia bergegas membuka laptop dan mengkoneksikannya dengan hotspot di masjid. Di situs KPUD dia tahu pasangan no 1 dapat 46% dan no 2 dapat 54%. "Selisih 8 persen, di mana masalahnya?... Tunggu dulu jumlah pemilih atau suara sah 2.845.620 jiwa, besar juga," pikir Yunga. Sebagai orang Geografi dia tahu cara mencari angka pembanding untuk jumlah pemilih. Yunga membuka situs BPS kabupaten dan melihat hasil sensus 2013. Jumlah penduduk 4.154.687 jiwa. Artinya pemilih hampir 68% dari penduduk. Komposisi usia 17 tahun ke atas 55%. "Mestinya jumlah pemilih nggak lebih dari 2.3 juta jiwa. Ini nih masalahnya, " pikir Yunga.
Penetapan jumlah pemilih alias DPT memang kewenangan KPUD sumbernya tidak harus dari BPS. Dari situ KPUD tetapkan jumlah surat suara ditambah 2.5% cadangan surat suara, berarti ada kurang lebih 2.9 juta surat suara. Jumlahnya bisa berlipat lagi sebagai stock kalau2 ada yang rusak, namanya juga barang cetakan. Hebatnya KPUD ketika situsnya diperiksa Yunga juga punya list DPT sebanyak 2.8 juta lebih "by name by address". Mau memeriksa DPT satu per satu. "Wah lama," gerutu Yunga. Lagipun soal DPT yang lebih dimasalahkan publik adalah nama pemilih yang berhak tapi tidak tercantum daripada nama tercatat tapi tak ada orangnya atau belum punya hak pilih.
Selisih jumlah surat suara yang dikirim ke TPS-TPS (sesuai DPT plus cadangan) dengan kertas suara terpakai (sebanyak pemilih yang mencoblos) adalah "potensi pertama". "Oknum bisa menggelembungkan suara pemilih dan menambahkannya ke satu calon, toh suara masih dalam lingkup DPT," Yunga menganalisa. Jika para saksi TPS teliti "potensi pertama" ini tertutup karena DPT yang dipegang saksi bisa jadi bukti siapa yang datang mencoblos by name by addres. "Kayanya saksi2 pegang form ini, form apa ya?" Yunga bertanya dalam hati. Tapi form daftar hadir pemilih sekabupaten bisa 60ribu lembar kertas A4. "Paper problem", gumam Yunga.
Celah penggelembungan lain adalah dari pemilih tambahan. Dia adalah "everybody from everywhere else". Tak ada di DPT di satu TPS tapi penduduk layak memilih dan boleh memilih. Pemilh berkeliaran atau flying voter ini bikin masalah. Prosedurnya boleh milih di tempat lain tapi nama yg terdaftar di tempat asal "closed" dan ini tidak terlalu ketat dijalankan. Siapa yang peduli jika jatahnya di tempat asal dipakai oknum. "Pengerahan orang luar daerah untuk nyoblos bisa juga dilakukan lewat jatah tambahan ini asal "safe", pikiran Yunga menerawangi masalah lebih dalam.
Situs KPUD yang dibuka Yunga mendadak down. "Wah kena hack nih," duga Yunga. Pengiriman data suara dari kecamatan2 di pilkada ini memang ditempuh lewat internet. Jadi rekapitulasi kemaren Panitia Pemilihan Kecamatan hanya bawa rekapan. Form C-1 disimpan di kecamatan bahkan ada yang di desa. Potensi ketiga ada di sistim TI KPUD yang "hackable". Waktu kecamatan kirim email rekapan bisa dicegat dengan email hacker yg partisan. Jika oknum KPU "confirmed" dengan email hacker lantas kecamatan bisa dikonfirm maka bereslah. "Semudah itu? Entahlah," pikir Yunga. Yunga orang Geografi tak faham banyak soal2 TI.
Tak terasa Zuhur menjelang. Yunga sholat berjamaah di masjid. Bakda Zuhur Yunga menuliskan hasil investigasinya dan mempublishnya lewat blognya. "Ya sementara tiga hal itu kesimpulannya. DPT bermasalah, pemilih tambahan dan bolongnya sistim TI KPUD. Kalau tim no 1 bisa buktikan ada kecurangan masif terstruktur sistematis di MK maka ada peluang hasil pilkada berubah, tidak harus fokus ngejar defisit 8 persen," beber Yunga di blognya.
Blognya memang unik setiap muncul selalu ganti alamat email karena tidak ingin terlacak. Emailnya pun single use only. Tapi hebatnya atau mungkin ini berkat pertolongan Allah, blog itu selalu muncul pertama saat digoogling.
*Saran saya ke Yunga suatu hari adalah untuk kirim tulisan anonim ke trusted situs seperti piyungan atau kelola blog permanen secara berjamaah dengan admin keroyokan agar tak ter-delik seperti macan2000.